Lalai,” RSUD Sultan Imanudin Jadi Sorotan Publik, Balita Umur 3 Tahun 3 Bulan Hampir Melayang Nyawanya

Waringin,KontradiktifNews,com Pangkalan Bun. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sultan Imanuddin, yang berdiri megah di Jalan Sutan Syahrir No. 17, Kelurahan Madurejo, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, kembali menjadi sorotan publik. Kali ini bukan karena prestasi atau inovasi pelayanan, melainkan karena dugaan kelambanan dan ketidakpekaan dalam menangani pasien balita yang tengah berjuang melawan sakit.24/05/2025.

Sebuah kisah memilukan dan mengejutkan datang dari Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Sultan Imanuddin, rumah sakit rujukan utama di Kabupaten Kotawaringin Barat. Seorang balita harus menunggu selama lima jam di IGD tanpa kepastian tindakan medis yang cepat, memunculkan pertanyaan besar mengenai kualitas pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit milik pemerintah tersebut.

HH, seorang warga Kelurahan Madurejo,mengungkapkan kekecewaan mendalam atas pelayanan yang diterimanya saat membawa putrinya untuk berobat di Rumah Sakit tersebut. HH datang dengan penuh harap bersama putrinya yang berusia 3 tahun 3 bulan, FH, ke IGD RSUD pada Rabu sore (21/05/2025) sekitar pukul 16.00 WIB. FH menderita flu berat dan batuk dengan gejala hidung tersumbat hingga mengganggu saluran pernapasannya. Menurut HH, kondisi anaknya cukup mencemaskan karena tampak gelisah dan terus-menerus rewel akibat ketidaknyamanan yang dipicu oleh perubahan cuaca ekstrem beberapa hari terakhir.

Namun harapan HH sirna perlahan, digantikan oleh kecemasan yang makin menebal seiring waktu berjalan. Menurut HH hingga pukul 21.00 WIB, selama lima jam penuh sejak kedatangannya, Dokter jaga ataupun tim medis belum memutuskan apakah putrinya FH akan dirawat inap atau hanya cukup dengan rawat jalan. Padahal, sekitar pukul 18.00 WIB, darah FH sudah di ambil untuk diperiksa dan hasil pemeriksaan diketahui keluar tak lama kemudian, hanya sekitar 24 menit setelah pengambilan.

“Saya heran, anak saya cuma diberi obat penenang supaya tidur di ranjang IGD. Tapi, kenapa tidak ada tindakan darurat cepat seperti di uap atau bantuan pernapasan saat hidungnya tersumbat? Bukankah itu bisa membahayakan?” ungkap HH dengan nada kecewa.

Yang lebih membuat HH kecewa lagi adalah fakta bahwa tangan anaknya telah disiapkan untuk pemasangan infus, namun hingga pukul 21.00 WIB tindakan itu belum juga dilakukan. Alasannya, menunggu hasil laboratorium. “Tangan anak saya sudah disiapkan untuk dipasang infus, tapi sampai pukul 9 malam belum juga dilakukan. Alasannya masih menunggu hasil darah, padahal hasil itu sudah keluar. Ini nyawa anak kecil loh, bukan main-main.” ucap HH dengan suara bergetar menahan kecewa.

Kekecewaan HH memuncak ketika menyadari bahwa kelambanan ini bisa berdampak fatal jika dibiarkan. Ia pun memutuskan untuk membawa anaknya pulang ke rumah. Keesokan harinya, HH kembali membawa putrinya untuk mendapatkan penanganan medis di salah satu rumah sakit swasta di Kotawaringin Barat. Di sana, FH langsung mendapatkan tindakan medis yang cepat, akurat, dan ramah. “Alhamdulillah, sekarang anak saya membaik dan dalam masa pemulihan dari sakitnya. Tapi, pengalaman di RSUD Sultan Imanuddin ini sungguh tak akan saya lupakan,” kata HH.

Kasus FH seakan menjadi potret buram dari pelayanan darurat di RSUD Sultan Imanuddin, yang seharusnya menjadi garda terdepan pelayanan kesehatan dan benteng terakhir dalam menjaga nyawa masyarakat. Ketika pasien balita yang dikenal memiliki sistem imun dan fisiologis sangat rentan harus menunggu lima jam tanpa tindakan signifikan, maka ada sesuatu yang sangat keliru dalam sistem penanganan IGD rumah sakit tersebut. Apakah tindakan lambat ini disebabkan oleh kelalaian, prosedur yang kaku, atau kurangnya rasa empati tenaga medis terhadap pasien kecil yang sangat rentan?

Pelayanan IGD seharusnya berpacu dengan waktu, bukan dengan birokrasi. Ketika hasil laboratorium sudah keluar, kenapa tindakan lanjutan begitu lambat dilakukan? Kenapa tindakan dasar seperti nebulisasi atau pemasangan infus bisa tertunda dengan alasan administratif?

Pakar pelayanan publik menilai bahwa SOP (Standar Operating Procedure) Rumah Sakit, khususnya di IGD, harus mengutamakan kecepatan dan ketepatan tindakan, terutama bagi pasien anak-anak. Balita bukanlah “miniatur orang dewasa”, mereka punya kebutuhan medis yang berbeda dan lebih mendesak, serta respon fisiologis yang cepat memburuk jika tidak segera di tangani.

Kritik tajam dilontarkan HH terhadap lambannya respon Dokter jaga IGD Rumah Sakit Imanuddin.
“Kalau yang umum saja diperlakukan seperti ini, apalagi pasien yang pakai BPJS. Ini bukan soal gratis atau tidak, ini soal pelayanan terhadap masyarakat yang butuh tindakan cepat dan pertolongan,” tutur HH lirih, sambil menatap putrinya yang terlelap tidur setelah meminum obat.

Komentar ini memantik diskusi publik tentang perlakuan berbeda yang masih sering dirasakan oleh pasien pengguna layanan jaminan kesehatan nasional. Masyarakat perlu memahami hak-haknya sebagai pasien, termasuk hak atas pelayanan medis yang cepat, tanggap, adil, dan profesional tanpa diskriminasi status ekonomi atau jenis pembiayaan. Berdasarkan Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dengan jelas menyebutkan bahwa setiap pasien berhak memperoleh pelayanan yang aman, bermutu, dan manusiawi tanpa diskriminasi. Ketika terjadi indikasi kelalaian atau lambat tanggap dari fasilitas kesehatan, masyarakat berhak menyampaikan pengaduan secara resmi melalui layanan pengaduan Rumah Sakit, Dinas Kesehatan Kabupaten, hingga ke Ombudsman Republik Indonesia (RI). Dokumentasikan kronologi, bukti waktu, dan tindakan medis yang tertunda sebagai bahan pelaporan. Kita semua punya hak untuk bersuara demi perbaikan layanan publik.

Peristiwa yang dialami HH dan FH semestinya menjadi refleksi mendalam bagi seluruh pemangku kepentingan di sektor kesehatan, khususnya di RSUD Sultan Imanuddin. Ini bukan sekadar soal SOP atau alat medis, tetapi soal kepekaan, empati, dan rasa kemanusiaan. Karena di balik setiap nomor antrean, ada denyut kehidupan yang tak boleh ditunda.

Masyarakat tidak menuntut rumah sakit menjadi tempat ajaib cukup jadilah tempat yang cepat, tanggap, dan manusiawi. Sebab di balik dinding IGD, ada banyak nyawa kecil yang menggantungkan harapan mereka pada kecepatan tangan dokter dan ketulusan hati perawat. Pihak Rumah Sakit juga perlu terus meningkatkan sistem pelatihan, manajemen IGD, serta evaluasi berkala terhadap kinerja tenaga medis. Karena dalam kasus seperti FH, waktu adalah segalanya. Satu jam terlambat bisa menjadi penyesalan seumur hidup.

Peristiwa ini seharusnya menjadi alarm bagi RSUD Sultan Imanuddin pangkalan bun dan Pemerintah Daerah Kotawaringin Barat, bahwa pelayanan kesehatan tidak bisa berjalan setengah hati. Jangan sampai Rumah Sakit yang seharusnya menjadi tempat harapan, justru menjadi ruang menunggu tanpa kepastian. Masyarakat butuh Rumah Sakit yang sigap, bukan yang sibuk dengan prosedur panjang saat nyawa dipertaruhkan.( TIM TO )(S).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *